June 6, 2016 puskapol ui Category: Publikasi Hasil Riset .
Terhitung setelah hadirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa sekitar dua tahun lalu, optimisme muncul terkait hadirnya pengakuan negara akan kedaulatan, budaya, dan hak asal-usul desa. Selain itu terdapat sejumlah mekanisme peraturan dan kebijakan yang berupaya menghadirkan kemandirian ekonomi, sosial, dan politik bagi desa. Akan tetapi implementasi UU tersebut selama 2 tahun belakangan ini tidak menunjukkan arah perubahan yang membuat optimisme itu hadir. Sebaliknya, terdapat kekhawatiran besar arah implementasi UU dan sejumlah kebijakan yang akan mengubah wajah perdesaan di Indonesia jauh dari kondisi masyarakat desa yang berdaya dalam kemandirian mengelola sumber daya dan asetnya, menjaga kelestarian ekologi desa, melindungi tanah sebagai alat produksinya, serta mempertahankan ciri dan corak produksi yang menjadi keunggulan desa.
Grand Design Tata Kelola Desa yang partisipatif, adil, dan setara disusun oleh Pusat Kajian Politik – Universitas Indonesia (Puskapol UI) atas permintaan dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) untuk mengelaborasi serta menjawab sejumlah persoalan yang muncul sebagai konsekuensi implementasi UU Desa selama kurun waktu 2 tahun terakhir sejak tahun 2014. Tujuan strategis Grand Design Tata Kelola Desa yang partisipatif, adil, dan setara adalah:
Menyusun dokumen rujukan untuk Kementerian Kordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dalam melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait tata kelola desa. Terutama dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, Kementerian Keuangan, dan Bappenas.
Memberikan rekomendasi arah perubahan kebijakan baik di level undang-undang dan peraturan pelaksana di bawah undang-undang terutama Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.
Melalui model tata Kelola desa yang partisipatif, adil, dan setara yang disusun dalam Grand Design ini dimaksudkan untuk mewujudkan masyarakat desa yang berdaya dalam kemandirian mengelola sumber daya dan asetnya secara kolektif, menjaga kelestarian ekologi desa, melindungi kepemilikan tanah sebagai alat produksinya, serta mempertahankan ciri dan corak produksi yang menjadi keunggulan desa.
Berbagai persoalan terkait implementasi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa telah dipetakan agar menjadi perhatian bagi kementerian dan lembaga, berikut ini sejumlah persoalan yang berupaya di jawab melalui Grand Design:
terkait eksistensi/keberadaan desa yang rentan ditundukkan di bawah rumusan kepentingan nasional yang akan memicu perdebatan tentang kriteria apa yang menjadi acuan sebuah kepentingan nasional. Sehingga sebuah desa bisa dihilangkan, dipindahkan, atau diubah batas-batasnya secara sepihak berdasarkan otoritas penyelenggara pemerintah di atas desa. Batas-batas kewenangan desa untuk menjaga eksistensi dan keberadaannya belum diatur secara jelas dengan struktur pemerintahan di atasnya, saat ini UU memberikan porsi yang besar bagi Kabupaten/Kota untuk mengatur desa baik dalam hal pembentukan peraturan maupun dalam penganggaran desa. Tanpa diaturnya kewenangan yang jelas, maka desa akan selalu berada di bawah kendali kepentingan politik yang cair dari beragam wajah yang tidak tunggal dari pemerintahan Kabupaten/Kota.
UU Desa yang memiliki semangat mengakui keberadaan desa adat, akan tetapi dalam prakteknya ada sejumlah kebijakan yang justru mempertentangkan antara kewenangan desa dinas/administratif dengan desa adat. Hal ini terkait dengan bagaimana mekanisme penganggaran dan pendistribusian keuangan menjadikan desa adat tidak sejajar dan setara dengan desa dinas/administrasi. Mekanisme penganggaran dan keuangan yang menuntut pertanggungjawaban keuangan negara, telah mendorong desakan bagi desa adat untuk menyerahkan kepemilikan aset dan sumber dayanya kepada desa dinas sebagai pra-syarat penyaluran keuangan negara untuk membangun dan memelihara aset-aset desa. Hal ini akan memicu konflik dan pertentangan diantara desa dinas dan adat jika tidak diatur adanya pengakuan perihal kewenangan, pengelolaan aset desa, hingga mekanisme pengelolaan dan distribusi keuangan yang adil bagi desa adat dan desa dinas/administrasi.
Terkait tata kelola ekonomi desa, UU Desa terlalu berfokus pada upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan pada hadirnya investasi pihak ketiga tetapi abai terhadap kemandirian ekonomi, pelestarian ekologi, menjaga dan mepertahankan corak produksi lokal dan perlindungan terhadap pengelolaan aset-aset desa secara kolektif dan mandiri oleh masyarakat desa. BUMDes difasilitasi untuk berdiri hanya sebagai upaya mengejar keuntungan dan sekadar menambah penghasilan desa, akan tetapi belum diupayakan untuk mendukung peningkatan dan pendistribusian produksi lokal desa. Hal ini membuat BUMDes rentan hanya sebagai proyek dan digunakan sebagai instrumen masuknya modal pihak ketiga di desa untuk proses akumulasi pendapatan desa semata, tanpa upaya mendukung sinergi antar kelompok usaha di masyarakat untuk mendorong produk lokal.
UU Desa tidak mendorong pengawasan yang efektif terhadap kinerja kepala desa. UU mengatur fungsi dan kewenangan pengawasan ada di tangan BPD. Akan tetapi fungsi tersebut menghadapi sejumlah tantangan karena konteks wilayah, kultur, kekerabatan, serta mekanisme pengisian jabatan. Selain itu juga untuk fungsi dan kewenangan BPD yang besar dalam upaya mendorong partisipasi dan keterlibatan masyarakat desa dalam pembangunan desa, terkendala pada dukungan fasilitas dan operasional yang minim. Oleh karena itu pengalokasian anggaran perlu melekat pada fungsi. Sebagai contoh penyelenggaraan Musyawarah Desa (Musdes) sangat penting dan memiliki peran yang strategis untuk pelibatan masyarakat dalam berbagai hal penting dan mendesak di desa. Maka perlu pertimbangan tentang besaran dan juga pengalokasian khusus yang tidak bergantung pada kepala desa. Peran Desa adat yang berdiri berdampingan dalam struktur terpisah di beberapa desa, juga tidak dapat dikesampingkan sebagai penyeimbang bagi desa dinas/administratif, oleh karena itu harus dipikirkan juga dukungan bagi keberadaan peran dan fungsi desa adat yang berdampingan dengan desa dinas dalam satu desa.
Sejumlah persoalan juga muncul akibat inkosistensi semangat implementasi UU Desa dengan sejumlah aturan di bawahnya terutama di tingkat peraturan menteri (permendagri dan permendesa) yang cenderung membuat desa bergantung pada kebijakan pemerintah di atasnya, membatasi ruang gerak partisipasi masyarakat dalam musyawarah desa, serta dalam hal pemanfaatan sumber daya anggaran.
Mendorong dan Mengawal Perempuan Penyelenggara Pemilu
Penulis: Fitrinela Patonangi (Anggota Bawaslu Provinsi Sulawesi Barat, Peserta She Leads Indonesia 2021). Diterbitkan di Koran Fajar, 24 Oktober... more ... |
She Leads Mengubah Spirit Politik Perempuan
Penulis: Mardiana Rusli (Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDi) Sulawesi Selatan, Komisioner KPU Provinsi Sulawesi Selatan periode 2013-2018, Peserta... more ... |